Sabung ayam, adu jago, atau tajen, apapun sebutan di daerah Anda, adalah praktik yang mengundang perdebatan. Di satu sisi, sabung ayam dipandang sebagai tradisi yang membara, penuh semangat, dan mengandung unsur budaya. Di sisi lain, praktik ini tak jarang lekat dengan perjudian dan sisi gelap lainnya.
Mari kita kupas tradisi sabung ayam lebih dalam.
Sabung Ayam: Lebih dari Sekadar Adu Jago
Bagi sebagian masyarakat, sabung ayam bukan sekadar adu ayam jago. Di Bali, misalnya, dikenal istilah “Tabuh Rah” yaitu sabung ayam yang digelar khusus untuk upacara keagamaan. Dalam kepercayaan Hindu Bali, darah ayam dari sabung ayam digunakan sebagai sesajen untuk upacara Bhuta Yadnya. Hal ini menunjukkan bahwa sabung ayam bisa menjadi bagian ritual adat dan kepercayaan.
Selain itu, sabung ayam juga bisa menjadi ajang silaturahmi dan hiburan rakyat. Para penggemar adu ayam berkumpul, memamerkan ayam jagoan mereka, dan menikmati suasana pertandingan.
Judi: Sisi Kelam yang Menyertai
Namun nyatanya, sabung ayam tak bisa dilepaskan dari perjudian. Taruhan menjadi daya tarik tersendiri, tak jarang dengan nominal yang fantastis. Ini tentu saja berdampak negatif. Judi sabung ayam bisa menyebabkan keributan, perjudian yang tak sehat, dan potensi kriminalitas.
Eksploitasi terhadap hewan juga menjadi perhatian. Ayam jago yang diadu dipelihara dan dipersiapkan secara khusus, tak jarang dengan cara yang tidak manusiawi.
Mencari Titik Temu: Menjaga Tradisi dan Menjauhi Keburukan
Lalu, bagaimana kita menyikapi sabung ayam? Mungkin solusinya terletak pada pengelolaan yang baik. Jika sabung ayam bisa diatur dengan baik, dengan meminimalisir perjudian dan memastikan kesejahteraan hewan, maka aspek positif tradisi ini bisa dilestarikan.
Beberapa daerah sudah menerapkan hal tersebut. Di Bali, misalnya, ada perbedaan antara “Tabuh Rah” yang sakral dengan “Tajen” yang melibatkan taruhan.
Dengan regulasi yang tepat dan kesadaran masyarakat, sabung ayam bisa menjadi tradisi yang lestari tanpa meninggalkan sisi gelapnya.